Oleh : Hasan Masysyath
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Inovasi UTS
Lensantb.com–Sebagai salah satu perangkat daerah Satpol PP memiliki sejumlah tugas di antaranya : memelihara serta menyelenggarakan ketenteraman, ketertiban umum, dan menegakkan Peraturan Daerah. Akan tetapi, sayang beribu sayang. Fakta di lapangan, peran abdi negara yang satu ini di banyak daerah, termasuk Kabupaten Sumbawa Barat, dinilai belum aktif-efektif. Apalagi dalam nuansa efektifitas penegakan peraturan daerah.
Dalam konteks penegakan perda dan/atau perkada, Satuan Polisi Pamong Praja memiliki kedudukan dan fungsi yang cukup penting sebagai salah satu perangkat dan aparatur pemerintah daerah. Menurut ketentuan Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah “Satuan Polisi Pamong Praja dibentuk untuk menegakkan perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat”.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja memberikan definisi Polisi Pamong Praja yaitu aparatur pemerintah daerah yang melaksanakan tugas kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah. Bahkan pada pasal 7 aturan ini, Satpol PP diberi kewenangan melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada, menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/ atau Perkada dan melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Berdasarkan beberapa kewenangan tersebut di atas, jelas bahwa Satuan Polisi Pamong Praja dapat diumpamakan sebagai salah satu “penjaga” dalam penegakan suatu perda dan perkada. Melihat kewenangan yang sangat besar dimiliki oleh Satuan Polisi Pamong Praja tentu membuat institusi tersebut untuk berperan aktif keterlibatannya dalam proses pembentukan serta mengawal perjalanan perda dan perkada.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 255 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa salah satu tugas Satuan Polisi Pamong Praja yaitu melakukan tindakan penertiban nonyustisial, menindak bagi yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, penyelidikan terhadap pelanggaran perda dan/atau perkada, dan tindakan administratif. Kewenangan yang cukup besar tersebut semestinya dapat dimaksimalkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Namun pada kenyataannya, masih terdapat tugas dan kewenangan sebagai penegak perda dan/atau perkada terkesan belum dioptimalkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumbawa Barat. Salah satu contoh adalah penindakan Hewan Ternak yang dilepas oleh pemilik sehingga berkeliaran pada lokasi penghijauan, reboisasi dan pembibitan baik yang dikelola oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat, penindakan masalah keamanan dan ketertiban umum serta tugas lain yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja tercantum dalam suatu perda dan/atau perkada. Disamping itu, dalam berhadapan dengan sekelompok masyarakat perlu dikedepankan pendekatan atau cara-cara yang persuasif agar tidak menimbulkan konflik dan kegaduhan di masyarakat.
Berdasarkan kewenangan yang ada, tentu tidak ada satu orang pun yang meragukan fungsi dan peranan yang diemban oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam menegakkan perda dan/atau perkada. Pada sisi yang lain, masyarakat juga perlu diberikan sosialisasi dan ruang untuk berperan serta dalam penyusunan raperda dan/atau raperkada. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dan persinggungan antara masyarakat dan Satuan Polisi Pamong Praja.
Dalam menjalankan tugasnya, Satuan Polisi Pamong Praja dihadapkan pada posisi yang sulit “bagaikan buah simalakama”. Pada satu sisi Satuan Polisi Pamong Praja menegakkan perintah perda dan/atau perkada yang belum sepenuhnya melibatkan mereka dalam proses pembentukannya. Sedangkan pada sisi yang lain harus menghadapi masyarakat yang mungkin kurang mendapatkan sosialisasi terhadap perda/perkada yang dibentuk. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah membuka “kran” bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (perda).
Dalam berbagai literatur istilah Pamong Praja memiliki makna yang sangat baik, misalnya kata “Pamong” berarti pendidik, pengasuh bahkan ada yang mengartikan pengurus pemerintahan dan masyarakat sedangkan arti kata “Praja” bermakna negeri, kerajaan atau dalam dimensi sekarang yakni kota atau daerah. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI. Istilah Pamong Praja berarti Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan negara.
Mengingat besarnya peranan dari Satpol PP tersebut, seharusnya para kepala daerah benar-benar memaksimalkan fungsi Satpol PP di lapangan, bukan malah membiarkan para Pamong Praja tersebut bekerja tanpa tujuan yang jelas atau hanya menjadi pelengkap struktural dari masing-masing pemerintah kabupaten/kota semata. Ditambah lagi anggaran dan peningkatan kapasitas serta kualitas SDM yang sangat minim sehingga menjadi penghambat peran dan fungsi Satpol PP.
Persoalan yang nampak jelas terjadi, banyak perda yang mandul dan dibiarkan menjadi macan kertas saja oleh pemerintah daerah, semisal di beberapa Kabupaten/Kota dalam Penegakan Perda IMB, Penegakan Perda pengelolaan sampah, Penegakan Perda Kawasan Tanpa Rokok, Penegakan Perda Ketertiban Umum dan Ketenterman Masyarakat, Penegakan Perda Penyakit Masyarakat, Penegakan Perda Penertiban Ternak, serta peraturan atau keputusan kepala daerah lainnya. Padahal penegakan perda tersebut adalah indikator utama dari janji/komitmen dan kualitas percepatan pembangunan serta pelayanan publik pemerintah di daerah lebih khusus para kepala daerah.
Belum lagi, berbicara kapasitas, kuantitas, kualitas dan profesionalitas petugas atau SDM Pamong Praja yang direkrut oleh pemerintah daerah, idealnya mampu mengemban tugas maha berat untuk benar-benar berani dan tegas mengambil tindakan juga dituntut humanis. Tapi lagi-lagi, terkadang “tersandera” atau tidak berdaya dengan kebijakan Dinas atau instansi lainnya ditambah terbatasnya PPNS yang ada di Satpol PP. Mengingat beberapa kebijakan dan rekomendasi penertiban juga diperlukan dari dinas yang berkaitan serta penyidik dari ASN. Masalah lainnya berupa dugaan bekerja tanpa mengindahkan Standar Operational Procedure/SOP sehingga dalam melakukan penertiban juga masih tidak tertib. Hal ini juga menjadi faktor penghambat terciptanya ketertiban umum, kenyamanan dan proses tegaknya satu peraturan daerah.
Persoalan lain juga terkait dukungan anggaran yang rata-rata jauh dari kesan proporsional atau layak. Akibatnya sebagian petugas Pamong Praja menjadi ogah-ogahan, tak bisa maksimal patroli ketertiban umum, Akhirnya Pamong Praja terlebih saat investigasi lapangan menjadi terhambat dan lambat, yang berujung persoalan kota semakin berkarat, mengingat pekerjaan rumah terberat adalah membangun mental masyarakat yang terkadang masih enggan berubah dan taat dengan aturan yang telah dibuat.
Faktor penyebab lain yang cukup menentukan yakni belum adanya pemahaman yang dalam dan benar oleh sejumlah kepala daerah akan core bisnis Satpol PP itu sendiri. Sehingga, perannya yang cukup besar khususnya dalam percepatan pelayanan publik tidak dirasakan langsung oleh publik, malah di sebagian kabupaten/kota opini yang berkembang perihal Satpol PP menjadi salah kaprah atau disalahgunakan seperti hanya sebagai penjaga malam pos di masing-masing instansi dan kediaman rumah dari pejabat daerah saja, atau yang lebih miris, hanya mengatur parkir di sejumlah kantor-kantor pemerintah daerah.
Belum lagi kalau bicara pelatihan induksi di internal Satpol PP. Penanaman materi dasar atau fundamental seperti berkaitan HAM, pelatihan komunikasi persuasif, pendekatan berbasis keadilan serta mampu melakukan rekayasa sosial dan kultur hukum secara positif menjadi tantangan yang cukup berat bagi para Satpol PP hari hari ini. Ditambah mereka juga dilibatkan dalam hal pengamanan PPKM dan terlibat dalam pencegahan penyebaran covid 19 di sejumlah daerah pastinya sangat menambah beban berat.
Hal seperti ini pastinya tak bisa dibiarkan terus menerus, mengingat fungsi dan wewenang dari Satpol PP diproyeksi mampu mempercepat kualitas pembangunan, ketertiban dan kenyamanan masyarakat di daerah.
Untuk itu, problem Pamong Praja ini hendaknya segera diakhiri dengan melakukan pembinaan serius, pelatihan yang komprehensif, pendidikan berbasis performa komunikasi serta dukungan multi sisi termasuk peningkatan keterampilan petugas Satpol PP dalam hal penanganan konfilk dan inovasi dalam penegakan peraturan daerah yang substansinya berat dan sistemik. Sehingga, perannya di tengah publik dapat dirasakan fungsinya dalam menciptakan kota atau daerah yang tertib, aman dan nyaman. Bukan malah sebaliknya hanya pelengkap penderitaan pembangunan kota saja. Kln