Perekonomian Indonesia menunjukkan sinyal positif yang kuat, didorong oleh dua pilar utama: pertumbuhan pesat di sektor logistik e-commerce domestik dan neraca perdagangan yang secara konsisten mencatatkan surplus selama 64 bulan berturut-turut. Kombinasi dari pasar digital yang dinamis dan kinerja ekspor yang solid menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan.
Pasar Logistik E-commerce Melonjak Pesat
Menurut laporan riset pasar terbaru yang dirilis oleh IMARC Group, pasar logistik untuk e-commerce di Indonesia diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan yang signifikan. Nilai pasar yang pada tahun 2024 mencapai $6,4 miliar diproyeksikan akan tumbuh hingga $9,4 miliar pada tahun 2033. Angka ini menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 4,41% selama periode 2025-2033.
Pertumbuhan ini didorong oleh perubahan fundamental dalam perilaku belanja konsumen, yang kini semakin beralih ke platform online. Lonjakan transaksi harian di platform raksasa seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada telah menciptakan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap solusi logistik yang efisien dan andal untuk menjangkau seluruh wilayah geografis Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau.
Transformasi Digital dan Inovasi Sebagai Kunci Pertumbuhan
Untuk menjawab tantangan tersebut, para pemain utama di industri logistik seperti J&T Express, JNE, dan SiCepat—yang masing-masing menangani lebih dari satu juta paket per hari—berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur teknologi dan otomatisasi. Penerapan perangkat lunak optimisasi rute, sistem pelacakan real-time, dan fasilitas penyortiran otomatis menjadi standar baru untuk meningkatkan efisiensi operasional serta memenuhi ekspektasi pelanggan akan kecepatan dan transparansi.
Inovasi juga terjadi secara masif di segmen last-mile delivery. Perusahaan logistik memperluas jaringan titik penjemputan (pickup points), loker pintar, dan pusat pemenuhan mikro (micro-fulfillment centers) di kawasan perkotaan. Langkah ini diambil untuk mengatasi tantangan unik Indonesia, seperti kemacetan lalu lintas di kota-kota besar dan masalah aksesibilitas di daerah terpencil. Hasilnya, layanan pengiriman di hari yang sama (same-day delivery) dan keesokan harinya (next-day delivery) kini menjadi semakin umum di wilayah metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Sementara pengiriman domestik saat ini mendominasi sekitar 86% dari volume pasar, logistik e-commerce lintas batas (cross-border) juga menunjukkan tren peningkatan. Semakin banyak konsumen Indonesia yang membeli produk dari pasar internasional, mendorong penyedia logistik untuk meningkatkan kapabilitas bea cukai dan kemitraan pengiriman global.
Dukungan Pemerintah dan Peningkatan Konektivitas
Pertumbuhan pasar ini juga didukung oleh faktor-faktor strategis. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perhubungan, telah meluncurkan inisiatif untuk menekan biaya logistik nasional dari 14,29 persen menjadi 8 persen dari PDB. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara dan menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi bisnis e-commerce.
Selain itu, penetrasi internet di Indonesia yang telah mencapai 79,5% menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) telah menciptakan pasar yang sangat besar. Target ambisius pemerintah untuk membawa 30 juta UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) masuk ke platform digital juga semakin mengakselerasi ekspansi pasar dan membuka peluang baru bagi penyedia logistik. Aspek keberlanjutan juga mulai menjadi fokus, dengan adanya program percontohan penggunaan kendaraan listrik untuk pengiriman di kota-kota besar.
Surplus Neraca Perdagangan Memperkuat Fondasi Ekonomi
Di sisi makroekonomi, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus sebesar $5,49 miliar pada Agustus 2025. Catatan positif ini memperpanjang tren surplus menjadi 64 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Surplus ini didorong oleh nilai ekspor yang mencapai $24,96 miliar (naik 5,78% secara tahunan), sementara nilai impor turun 6,56% menjadi $19,47 miliar.
Meskipun sektor minyak dan gas masih mengalami defisit sebesar $1,66 miliar, surplus keseluruhan ditopang oleh kinerja kuat komoditas non-migas. Surplus perdagangan terbesar dicatatkan dengan Amerika Serikat, didorong oleh ekspor mesin, peralatan listrik, garmen, dan alas kaki. Surplus juga terjadi dalam perdagangan dengan India (ditopang oleh bahan bakar mineral dan minyak hewani/nabati) serta dengan Filipina (melalui ekspor kendaraan dan bahan bakar mineral).
Di sisi lain, Indonesia masih mencatat defisit perdagangan non-migas dengan beberapa negara mitra dagang utama. Defisit terbesar berasal dari Tiongkok, dengan nilai mencapai $14,32 miliar, terutama dari impor mesin, peralatan listrik, dan kendaraan. Defisit lainnya tercatat dengan Australia ($3 miliar, didominasi impor sereal dan bahan bakar mineral) dan Brasil ($1 miliar, berasal dari impor residu industri makanan dan gula).