Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi memiliki peluang penguatan terbatas pada pembukaan perdagangan awal pekan ini. Setelah reli panjang selama dua hari yang sempat mengerek indeks naik hampir 110 poin atau 1,3 persen, pasar saham Indonesia mengalami koreksi teknikal dalam dua dari tiga hari perdagangan terakhir. Saat ini, IHSG bertengger sedikit di atas level psikologis 8.630 dan kemungkinan besar akan bergerak dalam rentang konsolidasi. Pada penutupan Jumat lalu, indeks terkikis tipis 7,44 poin atau 0,09 persen ke level 8.632,76, setelah sempat bergerak fluktuatif di antara 8.617,04 dan 8.689,10.
Sentimen positif datang dari pasar global, didorong oleh optimisme terkait prospek suku bunga. Bursa saham Asia diperkirakan akan menyerap energi positif dari Wall Street yang berakhir di zona hijau, meskipun pasar Eropa menunjukkan pergerakan yang beragam. Kenaikan di pasar AS terjadi setelah rilis data inflasi konsumen yang sesuai dengan estimasi pasar, memperkuat keyakinan bahwa Federal Reserve akan kembali melonggarkan kebijakan moneternya. Alat FedWatch dari CME Group bahkan mengindikasikan peluang sebesar 87,2 persen bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar seperempat poin minggu ini.
Indeks utama Wall Street menunjukkan performa solid dengan Dow Jones naik 0,22 persen ke 47.954,99, NASDAQ menguat 0,31 persen ke 23.578,13, dan S&P 500 bertambah 0,19 persen menjadi 6.870,40. Di sektor komoditas, harga minyak mentah juga merangkak naik akibat ketegangan geopolitik yang persisten antara Rusia-Ukraina serta situasi AS-Venezuela, di mana minyak mentah West Texas Intermediate untuk pengiriman Januari naik menjadi $60,02 per barel.
Dinamika Sektoral: Perbankan Tertekan, Semen Melonjak
Di lantai bursa domestik, pergerakan saham sektoral menunjukkan gambaran yang kontras. Sektor finansial menjadi pemberat utama indeks, sementara saham berbasis semen justru mencatatkan kenaikan signifikan. Beberapa saham perbankan besar mengalami tekanan, seperti Bank CIMB Niaga yang turun 0,28 persen, Bank Mandiri melemah 0,41 persen, dan Bank Rakyat Indonesia yang tergelincir 1,08 persen. Namun, Bank Central Asia berhasil melawan arus dengan kenaikan 0,91 persen.
Sebaliknya, emiten semen tampil prima. Indocement menguat 2,60 persen dan Semen Indonesia melonjak tajam 3,93 persen. Saham unggulan lainnya seperti Indosat Ooredoo Hutchison naik 1,73 persen dan Indofood Sukses Makmur bertambah 1,07 persen. Sektor sumber daya alam bergerak variatif; Aneka Tambang dan Vale Indonesia mencatatkan kenaikan tipis, sementara Timah anjlok 3,63 persen dan Bumi Resources turun 1,65 persen.
Transisi Menuju Efisiensi Mata Uang
Kondisi pasar saham yang dinamis namun relatif terjaga ini mencerminkan stabilitas fundamental ekonomi makro Indonesia. Stabilitas ini menjadi prasyarat penting bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk melangkah ke tahap reformasi struktural berikutnya yang telah lama didiskusikan: redenominasi Rupiah. Rencana ini bertujuan untuk menyederhanakan transaksi harian dan pencatatan akuntansi dengan menghilangkan sejumlah nol dari mata uang, misalnya mengonversi 1.000 rupiah lama menjadi 1 rupiah baru.
Langkah ini sejatinya bersifat netral secara teknis dan tidak mengubah daya beli masyarakat. Tujuannya murni untuk efisiensi administratif; sistem mata uang dengan terlalu banyak nol menciptakan friksi administratif, biaya transaksi yang lebih tinggi, dan risiko kesalahan perhitungan. Lebih dari itu, redenominasi dapat meningkatkan citra internasional Indonesia dengan memproyeksikan kepercayaan diri terhadap stabilitas ekonomi negara.
Meluruskan Sejarah: Bukan Sanering 1965
Meski demikian, setiap reformasi yang menyentuh nilai nominal uang tak pelak membangkitkan memori kolektif mengenai trauma moneter tahun 1965. Kala itu, pemerintah melakukan sanering—sebuah pemotongan nilai riil, bukan sekadar penyederhanaan nominal. Kebijakan 13 Desember 1965 memangkas uang beredar hingga setengahnya, di mana uang pecahan 1.000 rupiah tiba-tiba hanya bernilai 500 secara riil. Langkah drastis yang ditujukan untuk meredam hiperinflasi tersebut justru memicu kepanikan, menggerus tabungan masyarakat, dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap kebijakan moneter.
Penting untuk dipahami bahwa redenominasi sangat berbeda dengan pemotongan nilai atau sanering. Ketakutan masyarakat memang beralasan karena pengalaman masa lalu, namun konteks hari ini jauh berbeda. Redenominasi dilakukan di tengah stabilitas: inflasi terjaga dalam target bank sentral, nilai tukar relatif stabil, kepercayaan terhadap perbankan kuat, dan sistem pembayaran digital sudah sangat maju. Posisi fiskal Indonesia saat ini jauh lebih sehat dibandingkan enam dekade silam, sehingga prasyarat untuk transisi yang mulus—yakni stabilitas, kepercayaan, dan kesiapan institusional—akhirnya terpenuhi.
Strategi Implementasi dan Komunikasi Publik
Belajar dari sejarah dan pengalaman negara lain seperti Turki dan Brasil, persepsi publik memegang peranan vital. Kesalahpahaman sekecil apa pun dapat memicu kecemasan atau kenaikan harga sepihak oleh pedagang yang memanfaatkan situasi, menciptakan apa yang disebut sebagai “inflasi psikologis”. Oleh karena itu, komunikasi publik harus menjadi prioritas utama pemerintah, bersanding dengan persiapan teknis.
Untuk mencegah gejolak, masa transisi yang panjang antara 18 hingga 36 bulan sangat diperlukan. Selama periode ini, uang rupiah lama dan baru harus beredar secara bersamaan. Selain itu, seluruh barang dan jasa wajib mencantumkan harga ganda (harga dalam rupiah lama dan baru) untuk membantu masyarakat beradaptasi dan menginternalisasi skala nilai yang baru tanpa rasa was-was akan hilangnya daya beli.