Penulis : Ahmad Ghufran Akbar (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Mataram)
LensaNTB, Mataram — Pandemi COVID-19 sampai saat ini masih belum menunjukkan lelah dalam bekerja, malah kita sebagai manusia yang kelelahan menangani pandemi yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Banyak hal yang berubah setelah pandemi ini datang. Dari golongan atas hingga bawah semuanya terdampak oleh pandemi ini. Bahkan negara-negara di seluruh dunia mengalami pengalaman buruk dalam hal ekonomi akibat pandemi ini. Perputaran roda ekonomi dunia terhambat akibat perubahan yang diberikan oleh COVID-19. Dari sekian negara yang mengalami hal tersebut, Indonesia adalah salah satunya.
Walaupun pemerintah pusat tergolong lamban dalam menangani penyebaran pandemi ini bukan berarti pemerintah sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi. Salah satu kebijakan pemerintah sebagai langkah pertama melawan virus ini adalah kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dengan landasan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah.
Akan tetapi dengan adanya PSBB, kalangan ekonomi kelas rendah menjadi kesulitan mendapatkan pendapatan sehari-hari mereka. Hal ini di tanggapi oleh pemerintah dengan adanya kebijakan untuk memberikan berbagai kemudahan kepada sejumlah sektor usaha dan masyarakat yang terkena dampak dari wabah virus corona. Kemudahan ini juga berdasarkan keluhan dari tukang ojek, supir taksi, yang sedang memiliki kredit motor atau mobil atau nelayan yang sedang memiliki kredit seperti yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi pada rapat terbatas di Istana Negara.
Meninjau kembali kebijakan PSBB ini, akhirnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk menutupi kekurangan kebijakan ini untuk mengatasi kekurangan pada sektor ekonomi negara. Hal ini dikarenakan dengan adanya pembatasan sosial skala besar orang-orang menjadi tidak dapat meninggalkan tempat tinggal serta harus melaksanakan segala kegiatannya di rumah baik itu belajar maupun berkerja. Hal ini memberi dampak buruk pada orang-orang yang mempertaruhkan hidupnya untuk mendapatkan uang melalui kegiatan ekonomi kelas rendah seperti para pedagang kaki lima, ojek, dsb. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas kalangan bawah mempunyai hutang yang harus dibayarkan berupa cicilan dan hal ini dapat mereka tutupi melalui upah pekerjaan mereka sehari-hari.
Akan tetapi hal ini malah berujung buntung kepada rakyat yang tidak mendapatkan subsidi pemerintah. Faktanya adalah ketika kebijakan subsidi listrik untuk masyarakat yang terdampak dikeluarkan, terjadi kenaikan pembayaran tarif dasar listrik yang bahkan berkisar hingga 100% saat pandemi. Bahkan, Presiden mengeluarkan keputusan untuk menaikkan iuran BPJS walaupun sebelumnya sempat ditolak oleh MA. Selain itu, PNS mengalami pemotongan gaji secara sepihak bersama dengan karyawan dan buruh sebesar 2,5% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tappera). Kebijakan-kebijakan ini tidak semestinya dikeluarkan ketika rakyat masih beradaptasi dan berjuang melawan pandemi ini.
Walaupun demikian, roda perputaran ekonomi terus berputar justru karena hal tersebut. Dilansir dari finance.detik.com, Peneliti CSIS Fajar B Hirawan mengungkapkan bahwa krisis pada 1998 sangat berbeda dengan krisis saat ini. Mulai dari kesiapan otoritas moneter dan fiskal saat mengantisipasi dampak krisis. Contohnya pada 1998, penanganan moneter waktu itu hanya ditangani Bank Indonesia (BI). Sekarang ada OJK dan LPS yang bahu membahu dengan BI untuk menangani masalah di sektor keuangan. Kemudian dari sisi fiskal, pemerintah saat ini juga lebih responsif dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi, khususnya menjaga sektor konsumsi rumah tangga, karena memang pada dasarnya sudah banyak belajar dari kasus krisis 1998. Terlihat dari kebijakan-kebijakan yang pemerintah keluarkan sedemikian rupa menghadapi pandemi ini.