Oleh Henry Fitriawan, S.KM.,M.KM
LensaNTB, Sumbawa Barat — Untuk kesehatan, sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seseorang yang hanya karena tidak memiliki uang harus kehilangan mata pencaharian dan menyengsarakan hidup keluarganya atau meninggal dunia akibat sakit yang dideritanya (Hasbullah Thabrany)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa kesehatan juga memiliki efek sosial dan ekonomi yang sangat besar. Tidak salah kalau kemudian para ahli sepakat bahwa kesehatan tidak bisa secara kaku diperlakukan sama dengan komoditas pasar lainnya. Kesehatan tidak bisa sepenuhnya diperlakukan dengan prinsip-prinsip ekonomi.
Harus ada jaminan di sektor kesehatan bahwa masyarakat mendapat pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan (you get what you need) dan bukannya mendapat pelayanan sesuai tebalnya dompet (you get what you pay). Harus kita akui, pelayanan kesehatan di negeri ini secara umum masih cenderung condong pada konsep equity liberter (anda dapat sesuai kemampuan membayar). Berbeda dengan kelompok liberter, equity egaliter (keadilan yang merata) menjamin seseorang untuk mendapat pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan membayar kontribusi sesuai kemampuan ekonominya.
Asuransi Sosial
Untuk menghindari situasi seperti kutipan di atas, maka asuransi sosial jawabannya. Dari pengalaman penulis, masih banyak masyarakat yang tidak terlalu paham mengenai asuransi sosial. Banyak orang yang menganggap bahwa kata sosial artinya untuk masyarakat miskin atau kualitas rendah. Setidaknya begitulah persepsi orang kebanyakan di negeri ini ketika Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lahir pada 1 Januari 2014. Bahwa JKN yang dikelola BPJS Kesehatan sebagai asuransi sosial merupakan produk untuk masyarakat yang kekurangan uang saja.
Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, asuransi sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional juga menyebutkan bahwa asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Melihat pengertiannya jelas sudah bahwa asuransi sosial bukan hanya diperuntukan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu saja, tapi untuk seluruh warga negara.
Berikutnya yang banyak ditanyakan adalah mengapa wajib? Bukannya ini eranya demokrasi? Bukan lagi eranya sentralistik seperti orde sebelumnya, jadi biarkan daerah mengurus sendiri penjaminan masyarakatnya. Mengapa tidak dibebaskan saja orang untuk memilih? Pertanyaan seperti itu dan sejenisnya pernah beberapa kali penulis temui di beberapa akun media sosial.
Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas bahwa kesehatan memiliki dampak secara sosial dan ekonomi serta di sisi lain kesehatan bersifat tidak pasti (uncertainty). Artinya setiap manusia dalam hidupnya memiliki peluang untuk jatuh sakit dan bisa saja kondisi sakitnya mengakibatkan bencana ekonomi (catastrophic illness) bagi penderita dan keluarganya. Jika melihat epidemiologi penyakit di Indonesia, sejak 10 tahun terakhir cenderung ke arah penyakit kronis yang tentu episode sakitnya tidak sebentar serta umumnya berbiaya tinggi. Apakah semua orang menyadari resiko tersebut?
Atas dasar kondisi tersebut diperlukanlah sebuah sistem penjaminan kesehatan yang handal dan mampu mencakup semua lapisan masyarakat (bekerja-tidak bekerja, kaya-miskin, sehat-sakit, tua-muda). Jika tidak diwajibkan, maka hanya kelompok yang merasa beresiko untuk sakit atau sakit-sakitan saja yang akan membeli asuransi sedangkan kelompok yang muda, merasa sehat tak merasa membutuhkan. Maka tidak mungkin dicapai kegotong-royongan antara kelompok sehat-sakit, tua-muda, kaya-miskin.
Sosial atau Komersil ?
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Indionesia sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional berdiri di atas tiga pilar, yaitu: 1) Asuransi Sosial, 2) Bantuan Sosial, dan 3) Suplemen. Mewajibkan kepesertaan JKN bagi seluruh penduduk Indonesia tidak serta merta menutup pasar asuransi komersil. Masyarakat yang menginginkan kepuasan dan fasilitas lebih dari standar layak (khususnya pelayanan non medis), dapat memanfaatkan pilar ke-tiga yaitu pilar suplemen dengan membeli asuransi komersil.
Saat ini banyak tersedia perusahaan asuransi swasta yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam memberikan manfaat tambahan bagi peserta JKN. Nantinya akan dilakukan koordinasi manfaat (coordination of benefit) antara manfaat yang sudah didapat melalui program JKN dan asuransi komersil. Kelebihan biaya yang ditimbulkan oleh pelayanan diluar paket JKN akan dibiayai melalui skema kerja sama ini.
Pertanyaan kemudian muncul, jika sudah memiliki asuransi kesehatan komersil mengapa harus menjadi peserta JKN? Sederhana saja, bahwa asuransi kesehatan komersil tidak akan mampu untuk meng-cover seluruh penduduk. Untuk memastikan bahwa semua penduduk terpenuhi kebutuhannya (need), harus melalui model asuransi sosial. Belajar dari Amerika yang gagal menjamin seluruh penduduknya dengan asuransi kesehatan karena lebih condong pada asuransi komersil untuk penyediaan asuransi kesehatan.
Sesuai asal kata komersil dalam bahasa Inggris, commerce berarti perdagangan. Dalam sebuah perdagangan tidak ada paksaan seorang konsumen untuk membeli produk atau jasa begitu pula dalam asuransi komersil. Oleh karena perusahaan asuransi komersil akan berusaha keras untuk mengetahui apa yang diminati oleh pasar. Prinsip dasar inilah yang membedakan asuransi sosial dan komersil. Jika asuransi komersil merespon permintaan (demand) masyarakat maka asuransi sosial merespon kebutuhan (need). Perbedaan prinsip dasar itulah yang membuat paket manfaat yang ditawarkan oleh JKN cenderung seragam dengan biaya premi lebih murah jika dibandingkan dengan asuransi komersil.
Terlepas dari perbedaan asuransi sosial dan komersil, tidak mengurangi pentingnya kepemilikan asuransi kesehatan. Sedia payung sebelum hujan. (*)