LensaNTB.com, Surabaya – Apakah ilmu forensik itu ? ilmu forensik merupakan penerapan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegak hukum dan keadilan. Tugas ahli forensik yaitu membantu aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara, penasehat hukum) dalam mengungkapkan sesuatu perkara yang berkaitan dengan pengrusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.
Tujuan utama ahli forensik disini adalah untuk melakukan identifikasi terhadap korban akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada Interpol DVI Guidline. Ilmu forensik tidak hanya mempelajari tentang kedokteran forensik namun ada banyak cabang ilmu lainnya seperti antropologi forensik, komputer forensik, psikiatri/psikologi forensik, kimia forensik, fisika forensik, odontology forensik dan ilmu lainnya.
Belakangan ini, sering terjadi bencana yang melanda Indonesia, terjadinya gempa bumi di Lombok, gempa bumi dan tsunami di Palu, Sigit dan Donggala yang merenggut ratusan bahkan ribuan korban jiwa dan baru ini terjadi peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT- 610 diperkirakan merenggut 189 korban.
Bencana alam yang terjadi karena secara geografis NKRI terletak pada wilayah yang rawan terhadap bencana alam, wilayah dengan banyak aktivitas tektonik karena terletak diantara lempeng Australia, lempeng Eurasia dan lempeng pasifik, serta berlokasi di cincin api pasifik, yang memiliki paling banyak gunung berapi aktif diseluruh dunia. Bencana merupakan suatu kejadian yang mendadak dan tidak terduga, dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Beberapa dasar hukum dalam melakukan identifikasi korban bencana menurut Pasal 120 ayat 1 KUHAP yaitu dalam hal penyidik mengangap perlu, ia dapat minta pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. KUHAP pasal 179 (1) berbunyi setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Menurut UU no 36 tahun 2009 pasal 82 tentang kesehatan dan pasal 118 (1) yang berbunyi mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.
Identifikasi massal merupakan proses pengenalan jati diri korban massal yang terjadi akibat bencana. Seringkali korban mati akibat bencana massal ditemukan dalam kondisi tidak berbentuk, hancur, trauma berat, membusuk, tenggelam, terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi bermacam keadaan sehingga sangat sulit untuk mengenalinya.
Korban-korban meninggal dalam kasus tersebut perlu dilakukan identifikasi, karena akan menjelaskan secara hukum seseorang masih hidup atau sudah mati, yang juga merupakan hak dari ahli waris korban, disamping itu juga berkaitan dengan klaim asuransi, pensiunan, memenuhi kebutuhan etis dan kemanusiaan terhadap keluarganya, administratif, klaim dalam hukum publik dan perdata, sebagai awal dalam penyelidikan, dan memastikan status pernikahan.
Identifikasi korban bencana massal atau biasa disebut DVI merupakan prosedur yang telah ditentukan untuk mengidentifikasi korban dalam sebuah insiden atau bencana yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat serta merupakan bagian dari investigasi, rekonstruksi tentang sebab bencana.
Proses dari identifikasi itu sendiri meliputi 5 fase dimana setiap fase memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya yang terdiri dari, pemeriksaan di TKP, Pengumpulan data-data post mortem atau data hasil pemeriksaan forensik yang ditemukan pada jenazah korban, Ante Mortem yaitu pengumpulan data yang penting sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup, reconsilition merupakan pencocokan data dengan berbagai metode identifikasi berupa identifikasi primer yaitu: sidik jari, catatan gigi, dan DNA, kenapa Gigi dapat sangat bermanfaat untuk identifikasi, karena merupakan jaringan paling keras dalam tubuh dan sangat spesifik secara individual. Identifikasi melalui gigi dapat dilakukan baik dari segi bentuk dan posisi gigi. Kemudian metode selanjutnya melalui identifikasi sekunder berupa, temuan medis, dan barang milik korban, Debriefing merupakan evaluasi dari pelaksanaan DVI.
Prinsip utama dalam pemeriksaan forensik adalah mendapatkan bukti secepat mungkin, oleh karena tubuh manusia merupakan suatu barang bukti biologis yang datanya dapat berubah seiring berjalannya waktu. Adapun hambatan dalam melakukan identifikasi tersebut yaitu dalam mengumpulkan data antemortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM, rekam medis semua penduduk Indonesia yang pernah melakukan pemeriksaan gigi, karena masyarakat Indonesia belum terbiasa melakukan pemeriksaan gigi secara teratur.
Identifikasi ini dilakukan untuk membantu masyarakat agar mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat serta sebagai proteksi masyarakat jika terjadi bencana dikemudian hari. Hal ini juga dapat memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.
Dengan melakukan identifikasi maka dapat mengenali korban mati maupun yang masih hidup, sehingga dapat dilakukan upaya perawatan dan mendoakan para korban. Korban yang telah diidentifikasi akan dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi DVI.
Penulis : Yan Laras Malahayati Mahqfiroh, S. Kep,. Ns.
Mahasiswa Magister Ilmu Forensik
Universitas Airlangga Surabaya